Menwarkan Diri Bagi Wanita Untuk Dinikahi Oleh Laki Shaleh itu Mulia
Wanita shalihah itu mendatangi manusia paling mulia di dunia dan akhirat, Muhammad bin Abdullah. Seketika setalah bersua, sang wanita berujar tegas. Mungkin, mengagetkan bagi kita yang hidup di akhir zaman ini. Tapi bagi generasi terbaik itu, ujaran sang wanita adalah kehormatan. Ialah pertanda kemuliaan.
Wanita shalihah itu mendatangi manusia paling mulia di dunia dan akhirat, Muhammad bin Abdullah. Seketika setalah bersua, sang wanita berujar tegas. Mungkin, mengagetkan bagi kita yang hidup di akhir zaman ini. Tapi bagi generasi terbaik itu, ujaran sang wanita adalah kehormatan. Ialah pertanda kemuliaan.
“Ya Rasulullah, aku menawarkan diri kepadamu.” Demikian tulis Ibnu
katsir dalam tafsirnya, “Nikahilah aku.” Lanjut sang imam saat
menuturkan riwayat shahih ini dalam rangkaian tafsir surah al-Ahzab.
Adalah sebuah syariat yang dibolehkan, ketika wanita menwarkan dirinya
kepada seorang laki-laki shalih. Apalagi kepada Rasulullah Saw. Dimana
dahulu, Rasulullah Saw dibolehkan oleh Allah Swt menikahi siapa saja
yang menawarkan diri kepadanya, tanpa harus memberikan mahar. Kemudian,
syariat ini dihapuskan untuk beliau.
Andai, ini dibolehkan untuk kita, umatnya, bisa jadi kerusakan akan
terjadi dimana-mana. Tapi sariat-Nya adalah Mahabenar. Sebab kata Ibnu
Abbas, “Tidak ada satu pun wanita yang diterima oleh Rasulullah ketika
ia menawarkan dirinya sebagai hibah bagi sang junjungan."Maka ketika itu, Sang Nabi terdiam agak lama.
Disebutkan oleh Ibnu Katsir, “Beliau berdiri seraya termenung. Cukup lama.” Hingga bersuaralah seorang sahabat yang saat itu tengah berada di tempat kejadian. “Wahai, Sang Nabi,” ujar sang sahabat, agak malu, “Jika engkau tak berkenan, nikahkan saja dia denganku.” Demikian hadits yang dirawikan oleh Imam Bukhari dan Muslim.
Disebutkan oleh Ibnu Katsir, “Beliau berdiri seraya termenung. Cukup lama.” Hingga bersuaralah seorang sahabat yang saat itu tengah berada di tempat kejadian. “Wahai, Sang Nabi,” ujar sang sahabat, agak malu, “Jika engkau tak berkenan, nikahkan saja dia denganku.” Demikian hadits yang dirawikan oleh Imam Bukhari dan Muslim.
Merespon seksama ajuan diri sahabatnya, manusia junjungan itu mengajukan
tanya, “Apa yang kau miliki untuk dijadikan mahar baginya?” Riwayat ini
kuat adanya. Sebab didukung pula oleh imam Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i
dan Ibnu Majah.
Ia yang menawarkan diri menjadi suami dari wanita mulia itu menjawab,
teduh, “Aku hanya memiliki kain sarung ini, wahai Junjungan Allah.”
Aduhai, apakah kita tidak malu menyeksamai kalimat ini? Ketika saat ini,
banyak di antara kita yang menunda ibadah mulia ini. Mereka menunda
bukan karena hanya memiliki sarung. Mereka beralasan karena belum punya
rumah, belum menaiki mobil pribadi, dan capaian-capaian duniawi lainnya.
Memanglah, kita dan mereka memiliki jarak yang amat jauh. Mungkin, lebih
jauh di banding jarak langit ke tujuh dengan bumi ke tujuh.
“Jika kau berikan sarung itu, maka dirimu tak lagi memiliki apa-apa,”
jelas sang nabi. Bukan sebuah cegahan. Tapi anjuran. Sebab selanjutnya,
beliau mengusulkan, “Carilah sesuatu yang lain agar bisa kau jadikan
mahar baginya.”
Maka berupayalah sang sahabat yang mulia keberaniannya itu. Semua upaya
dilakukan, usaha maksimal didayungkan. Hingga kemudian, ia kembali.
Memang, tak membawa benda apa pun. Tapi, semangatnya tak berkurang
barang sedikit pun. Katanya, tetap bersemangat, “Aku tidak menemukan
apa-apa, wahai manusia mulia.”
Aduhai, inilah pengajaran yang hendak Allah swt berikan. Dia tak menilai
hasil semata. Niat lurus dan upaya sungguh-sungguh, akan tunai
diganjar-Nya. “Carilah benda lain,” demikian titah Sang Nabi. Yang
diperintah menurut. Sebelum pergi, Rasulullah memberi kriteria, “meski
hanya cincin yang terbuat dari besi.”
Mungkin kita akan berpikir, justru cincin dari besi ini sulit dicari.
Sertamerta kita akan beranggapan, “Memangnya di zaman nabi sudah ada
pandai besi?” Tentu, bukan tempatnya kita membahasa sejarah pandai
besi. Sebab peralatan perang sang Nabi dan sahabatnya juga banyak yang
terbuat dari besi sebagai bahan dasarnya.
Maka, cincin yang terbuat dari besi hanyalah sebuah kiasan paling
sederhana, tak berharga dan apa adanya tentang definisi mahar. Ialah
sebuah kewajiban bagi laki-laki untuk siapa saja yang hendak
dinikahinya.
Ia kembali. Lagi, tanpa hasil. Tapi tekadnya belum surut. Pantanglah ia
pulang sebelum niatnya terlaksana, “Wahai kekasih Allah, aku sudah
mencarinya. Tapi, aku tak mendapatkan apa pun.” Maka sang Nabi kembali
bertanya. Inilah panduan yang amat berharga kepada kita. Bahwa, ketika
tak memiliki apa pun, masih ada sesuatu yang bisa dijadikan mahar;
ketika niat menikah sudah lurus karena menapaki sunnanya.
“Apakah kamu memiliki hapalan al-Qur’an?” Demikian Sang Nabi melontarkan
tanya. Tanya ini menerbitkan harap, bagi sang sahabat yang mengajukan
diri hendak menikah itu. Disergaplah pertanyaan itu dengan sebuah jawab,
“Aku hapal surah ini dan itu.”
Mahasuci Allah. Lantaran hapalan yang dimiliki, maka mahar bagi sang
wanita shalihah tercukupi. Kemudian, Sang Nabi bersabda, "Sesungguhnya
aku telah menikahkan kalian berdua dengan mahar hapalan al-Qur`an yang
kamu miliki.”
Barakallahu lakuma wa baraka ‘alaikuma wa jama’a bainakumaa fii khair.
Tersebutlah dalam riwayat selepasnya, dari bunda kita, ‘Aisyah yang
mulia, “Wanita yang menawarkan diri tersebut adalah Khaulah binti
Hakim.” Siapakah ia? Lanjut ananda Abu Bakar ash-Shidiq ini, “Ia adalah
seorang sahabiyah yang shalihah.”
Semudah itulah pernikahan dalam Islam. Banyak hikmah, sejuta ibrah dan
sarat pelajaran yang bisa kita petik. Tentu, Sang Nabi ingin memberikan
pelajaran amat berharga kepada kita, seluruh umatnya.
Maka kisah ini, adalah satu kasus dimana kita disaran-anjurkan untuk
memudahkan pernikahan. Mulai dari menawarkan diri bagi seorang wanita,
karena itu adalah kehormatan nan memuliakan. Kemudian semangat menyambut
kebaikan dari seorang muslim ketika ada peluang amal. Dan, sikap
memudahkan bagi mereka yang menjadi wali atau pihak yang memiliki
otoritas.
Anas bin Malik, ketika itu tengah duduk bersama anak perempuannya.
Dikisahkanlah cerita ini kepada seorang sahabatnya. Mendengarnya, anak
perempuan Anas berkomentar, “Alangkah sedikitnya rasa malu wanita ini?”
Sertamerta, sang Ayah menkuruskan komentar anaknya yang belum banyak
tahu itu, “Nak,” kata Anas lembut, “wanita itu lebih mulia dari dirimu.”
Sebab, “Ia menginginkan hidup bersama nabi. Sampai-sampai dia
menawarkan dirinya.”
Ah, mungkin kisah ini terlalu utopis bagi kita. Mana ada mereka yang
rela menawarkan dirinya? Bahkan, ada banyak yang menolak saat dilamar.
Meski, pelamar adalah ia yang nyata shalihnya.
Namun, kisah ini semoga menjadi pelajaran. Sebab kisah, bukan untuk
dikenang. Ia ada untuk diteladani. Ah, apakah ada muslimah yang makin
tergerak untuk menawarkan dirinya kepada lelaki shalih? Jika ada, doa
kami ada untuk kalian, “Barakallahu lakuma wa baraka ‘alaikuma wa jama’a bainakumaa fii khair.”
Sumber {Bersamadakwah.com}
Sumber {Bersamadakwah.com}
0 comments:
Post a Comment