Tentu banyak di antara kita yang telah mengetahui bahwa di hari raya ini, umat Islam menyembelih hewan kurbannya dalam rangka ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla. Akan tetapi, bagi para wanita muslimah, sesungguhnya hari raya ini tidak sekedar pergi untuk shalat ‘ied, kemudian menunggu daging hasil sembelihan dan meramunya menjadi makanan yang lezat. Ada hal-hal lain yang perlu dilakukan, sehingga hari raya ini penuh makna dalam usaha kita meraih pahala-Nya. Semoga hari raya tahun ini menjadi hari raya yang lebih baik dengan amalan-amalan yang sesuai tuntunan nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aamiin ya mujibas saailin…
Berpuasa di Sembilan Hari Pertama Bulan Dzulhijjah
Mulai dari awal bulan Dzulhijjah, ternyata telah ada amalan yang disunnahkan untuk kita kerjakan. Hal ini telah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam contohkan sebagaimana terdapat dalam hadits,
أنَّ النّبيّ صلى الله عليه و سلم كان يصُوم عاشُوراءَ و تسْعاً من ذيْ الحجَّةِ و ثلاثةٍ أيّامٍ من شَهرٍ
“Bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa ‘Asyuro’ dan (juga berpuasa) sembilan hari di bulan Dzulhijjah serta tiga hari di setiap bulannya.” (HR. Abu Dawud: 2437, lihat Shahih Sunan Abi Dawud 2/78)
Namun, apabila amalan ini terasa berat, maka seseorang dapat mencukupkan diri dengan puasa pada tanggal 9 Dzulhijjah. Puasa ini dikenal pula dengan nama puasa Arafah karena pada tanggal tersebut, orang yang sedang menjalankan haji berkumpul di Arafah untuk melakukan runtutan amalan yang wajib dikerjakan pada saat berhaji yaitu ibadah wukuf.
Walau ibadah puasa ini hukumnya sunnah (jika mengerjakan mendapat ganjaran dan jika meninggalkan tidak mendapat hukuman), namun amat disayangkan jika kita sebagai muslimah melewatkan kesempatan untuk menghapuskan dosa-dosa selama dua tahun, yaitu setahun sebelumnya dan setahun sesudah puasa Arafah. Hal ini berdasarkan sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يٌكَفِّرُ السَّنة المَاضٍيَةَ و البَاقٍيَةَ
“(Puasa Arafah akan) menghapus dosa-dosa kecil setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” (HR. Muslim: 1162)
Takbir, Tahlil dan Tahmid
Amalan lainnya yang dapat dikerjakan adalah membaca takbir, tahlil dan tahmid pada sepuluh hari di awal bulan Dzulhijjah, baik di jalan-jalan, maupun di pasar-pasar. Tentu saja, karena kita adalah seorang muslimah, maka takbir, tahlil dan tahmid ini dilakukan dengan suara lirih. Dalil disyari’atkannya takbir, tahlil dan tahmid ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“…dan hendaklah kalian berdzikir (menyebut) nama Allah pada hari-hari yang sudah ditentukan…” (QS. Al-Hajj [22]: 28)
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu mengatakan bahwa yang dimaksud “..hari-hari yang sudah ditentukan…” pada ayat di atas adalah sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah.
Dan pada ayat yang lain, Allah berfirman,
وَاذْكُرُواْ اللّهَ فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ فَمَن تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَن تَأَخَّرَ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“… Dan sebutlah nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan…” (QS. Al-Baqarah [2]: 203)
Yaitu pada hari tasyrik, yaitu tanggal 11, 12 dan 13 bulan Dzulhijjah.
Adapun takbir, tahlil dan tahmid, maka tidak ada lafal khusus yang shahih dari Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, terdapat riwayat dari sebagian sahabat Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu pernah mengucapkan:
الله أكبر الله أكبر، لا إلَهَ إلاَّ اللهُ، و اللهُ أكبر، اللهُ أكبرُ و لِلّهِ الحَمدُ
“Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali hanya Allah semata. Dan Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, dan segala puji hanya bagi Allah.”(HR. Ibnu Abi Syaibah (II/168) dengan sanad shahih)
Ibnu ‘Abbas juga pernah mengucapkan
الله أكبر الله أكبر الله أكبر و لِلّهِ الحَمدُ الله أكبر وأجَلُّ الله أكبرُ عَلىَ ما هَدَا نا
“Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, segala puji hanya bagi Allah. Allah Mahabesar lagi Mahaagung. Dan Allah Mahabesar atas petunjuk yang telah diberikan kepada kita.” (HR. Ibnu Abi Syaibah (II/168) dengan sanad shahih).
Yang perlu diingat saudariku, dalam melakukan takbir, tahlil dan tahmid ini dikerjakan secara sendirian. Artinya, takbir tersebut tidak dipimpin oleh seseorang dengan maksud agar menyuarakan takbir secara serempak. Karena telah ada contoh dari sifat takbir tersebut, yaitu dilakukan secara sendirian, maka kita tidak boleh membuat sifat takbir yang baru dengan anggapan itu baik karena sebuah ibadah tidak bisa diukur dengan akal semata.
Tidak Memotong Rambut dan Kuku bagi yang Berkurban
Adapun bagi seseorang yang hendak berkurban, maka sejak masuk bulan Dzulhijjah sampai hewan kurbannya disembelih hendaknya tidak memotong rambut dan kukunya secara sengaja. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan salah satu istri Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Ummu Salamah radhiallahu ‘anhu bahwasannya Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
من كان له ذبحٌ يذبحُهُ، فإذا أهَلّ هِلال ذِى الحجّةِ فلا يأخذنَّ من شعره و لا من أظفالره شئا حتى يٌُضَحِّيَ
“Barangsiapa mempunyai hewan sembelihan yang akan ia kurbankan, maka jika telah masuk bulan dzulhijjah hendaklah tidak mencukur rambut, atau memotong kukunya sedikitpun sampai ia menyembelih kurbannya.” (HR. Muslim)
Berkurban
Nah… tentu saja untuk ibadah yang satu ini semua orang telah mengetahuinya. Namun, bagaimana dengan hukum berkurban itu sendiri. Apakah wajib atau sunnah? Ternyata ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Namun, pendapat yang lebih kuat sebagaimana dikatakan oleh Syaikh ‘Ali Hasan hafidzahullah dalam kitab Ahkamul ‘Aidain, bahwa hukum menyembelih binatang kurban bagi seseorang adalah wajib bagi yang mampu. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberi penjelasan yang lebih rinci setelah memberikan penjelasan tentang lemahnya pendapat orang yang mengatakan bahwa hukumnya sunnah. Beliau rahimahullah mengatakan, “Tidak setiap orang wajib menyembelih kurban, tetapi yang wajib adalah bagi orang yang mampu saja dan dia itulah yang hendaknya menyembelih kurban.” (Majmuu’ al Fataawaa (XXIII/162-164) dinukil oleh Syaikh ‘Ali Hasan). Salah satu dalil tentang wajibnya ibadah ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من كان له سعةُ و لم يُضَحِّ فلا يَقربنَّ مُصلا نا
“Barangsiapa memiliki keleluasaan (rezeki) lalu dia tidak berkurban, maka janganlah dia mendekati tempat sholat kita.” (HR. Ahmad (1/321), Ibnu Majah (3213), sanadnya hasan)
Tidak Makan Sebelum Shalat ‘ied
Jika sebelum shalat ‘idul fithri kita disunnahkan makan kurma sebelum shalat, maka pada hari raya ‘Idul Adh-ha, maka kita disunnahkan tidak makan hingga kembali dari tempat shalat. Sebagaimana diriwayatkan dari Buraidah radhiallahu ‘anhu, dia berkata,
كان النبي صلى الله عليه و سلم لا يخرج يوم الفطر حتى يطعم و يوم النّحر لا يأكل حتى يرجع فيأكُلُ من نَسِيكَتِهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berangkat pada hari raya ‘Idul fithri sampai beliau makan terlebih dahulu dan pada hari raya ‘Idul Adhha beliau tidak makan sampai pulang, kemudian beliau makan dari daging hewan-hewan kurbannya.” (HR. Tirmidzi (542))
Mandi
Mandi mungkin menjadi aktifitas biasa yang kita lakukan sehari-hari. Akan tetapi, ketika hari raya, ternyata mandi bisa bernilai ibadah lho. Ibnu Qudamah mengatakan,“Disunnahkan untuk membersihkan diri dengan mandi pada hari raya ‘ied. Ibnu ‘Umar biasa mandi pada hari raya ‘Iedul Fithri. Hal tersebut diriwayatkan dari ‘Ali radhiallahu ‘anhu. Dan hal itu pula yang dikemukakan oleh Alqamah, ‘Urwah, ‘Atha’, an Nakha’i, asy Sya’bi, Qatadah, Abu az Zinad, Malik, asy Syafi’i dan Ibnul Mundzir.” (Al Mughni (II/370).
Pergi ke Tanah Lapang untuk Shalat ‘Ied
Hal ini dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana diriwayatkan oleh Sa’id al Khudri radhiallahu ‘anhu, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat pada hari raya ‘iedul fithri dan ‘iedul adh-ha ke tanah lapang.” (HR. Bukhari dan Muslim). Padahal kita tahu dari hadits lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صلاةٌ في مَسجدِي هَذا أَفْضَلُ مِن أَلفِ صَلاةٍ فِيما سِوَاهُ إلاَّ المَسجِدَ الحَرَام
“Sholat di masjidku ini (Masjid Nabawi) lebih baik dari seribu kali sholat di masjid lainnya kecuali Masjidil Haram.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Walaupun keutamaan Masjid Nabawi dan Masjidil Haram demikian besar, namun pada saat hari raya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melaksanakan sholat ‘ied di tanah lapang. Tentu saja teladan yang paling baik adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian beberapa amalan berhari raya ‘iedul adh ha yang bisa penulis sampaikan. Semoga di kesempatan lain, penulis dapat menjelaskan amalan-amalan yang dilakukan saat berhari raya secara lebih rinci terutama berkaitan dengan sholat ‘ied itu sendiri.
Maraji':
- Meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Dalam Berhari Raya. Syaikh ‘Ali Hasan bin ‘Ali al-Halabi al-Atsary. Pustaka Imam Asy-Syafii. Cet I
- Majalah Al Furqon. Edisi 5 tahun V
- Majalah Al Furqon. Edisi 5 tahun VI
- Terjemah Riyadush Shalihin, takhrij Syaikh M. Nashiruddin Al Albani jilid 2. Imam Nawawi. Cetakan Duta Ilmu. 2003.
Penyusun: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ust. Aris Munandar
Muroja’ah: Ust. Aris Munandar
0 comments:
Post a Comment